Miqot pertama
Bir Ali
Sejarah Masjid Bir Ali
Sebuah masjid kecil pertama kali dibangun pada masa Umar bin 'Abdulaziz, yang merupakan gubernur Madinah pada masa Bani Umayyah tahun 706-712 M (87-93 H).
Masjid tersebut kemudian dibangun kembali tahun 961 H (1554 H), termasuk membangun tembok besar di sekelilingnya yang masih berdiri hingga masa pemerintahan Turki Usmani.
Masjid Miqat telah direnovasi beberapa kali. Renovasi besar-besaran terakhir dilakukan pada masa pemerintahan Raja Fahd (1982–2005 M), yang menambah luas masjid berkali-kali lipat dari ukuran aslinya dan menambahkan beberapa fasilitas modern.
Pemerintah Saudi menyadari meningkatnya jumlah jemaah umrah, dan berinvestasi secara signifikan di Masjid Zulhulaifah.
Sebagaimana dikutip dari Saudi Press Agency, masjid ini dibangun kembali di lahan seluas 178.000 meter persegi, menawarkan lingkungan yang lebih tenang bagi para pengunjung.
Bangunan masjid saat ini dibangun pada masa pemerintahan Raja Fahd. Bentuknya persegi dengan luas sekitar 6.000 meter persegi dalam selungkup berbentuk persegi seluas 36.000 meter persegi.
Masjid ini memiliki dua ruang salat yang dipisahkan oleh halaman yang luas, sekitar 500 toilet, area khusus untuk ihram dan wudhu, tempat parkir yang luas, dan taman.
Masjid Bir Ali menjadi masjid miqat terbesar kedua setelah Masjid Miqat Qarnul Manazil di as-Saylul al-Kabir.
kenapa Zulhulaifah juga disebut dengan Bir Ali?
Masjid Bir Ali dikenal dengan banyak nama. Disebut Bir (bir berarti sumur) atau Abyar (kata jamak dari bi'r yang berarti banyak sumur) Ali, karena pada zaman dahulu, Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA menggali banyak sumur di tempat ini. Sekarang, bekas sumur-sumur itu tidak tampak lagi.
Masjid ini juga dikenal dengan sebutan Masjid as Syajarah (yang berarti pohon), karena masjid ini dibangun di tempat Nabi Muhammad SAW pernah berteduh di bawah sebuah pohon (sejenis akasia).
Peristiwa tersebut terjadi dalam perjalanan Nabi SAW setelah pelanggaran Perjanjian Hudaibiyah pada tahun keenam Hijriyah (628 M). Beliau singgah di tempat ini, di bawah sebuah pohon dan mengenakan Ihram. Hal yang sama terjadi ketika Nabi berangkat untuk Umrah Qadha dan juga pada Haji Wada'.
Menurut Prof Dr KH Aswadi MAg, Konsultan Ibadah PPIH Arab Saudi Daker Madinah, dalam Perjanjian Hudaibiyah ditetapkan bahwa Rasulullah dan umat Islam di Madinah tidak boleh berhaji selama 10 tahun.
Perjanjian ini kemudian gagal. "Perjanjian ini dilanggar oleh Kaum Quraisy, sehingga pada tahun ke-9 Hijriah Nabi memaklumatkan Fathu Makkah tahun ke-10 Hijriah," kata Aswadi yang juga guru besar di UIN Sunan Ampel, Surabaya.
Pada tahun inilah Nabi Muhammad SAW menetapkan Zulhulaifah sebagai miqat haji atau umrah bagi para penduduk Madinah, termasuk orang-orang yang datang dari arah kota Madinah.
Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Dari Abdullah bin Abbas RA, ia berkata “Nabi SAW menetapkan miqat untuk penduduk Madinah di Zulhulaifah, penduduk Syam di Juhfah, penduduk Nejad di Qarnul Manazil, dan penduduk Yaman di Yalamlam.”
Nabi SAW bersabda “Miqat-miqat tersebut sudah ditentukan bagi penduduk masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang lain yang hendak melewati kota-kota tadi padahal dia bukan penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah haji atau umrah. Barangsiapa yang kondisinya dalam daerah miqat tersebut, maka miqat-nya dari mana pun dia memulainya. Sehingga penduduk Makkah, miqat-nya juga dari Makkah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Di Masjid Miqat ini, jemaah haji melaksanakan salat sunah ihram 2 rakaat, dan berniat ihram.
Miqot kedua
Miqot ketiga
Masjid Aisyah
Untuk mengawali ibadah umrah ini, para jamaah harus mengambil miqat dengan keluar terlebih dari Kota Suci Makkah. Masjid Tan’im atau juga dikenal sebagai Masjid Aisyah menjadi lokasi favorit bagi jamaah untuk bermiqat atau mengambil tempat untuk berganti pakaian ihram dan kemudian berniat melakukan umrah sunah. Lokasi ini merupakan batas tanah Haram terdekat.
Tan’im berjarak sekitar 7 kilometer di utara Masjidil Haram. Dengan demikian, hanya diperlukan waktu sekitar 15 menit dengan menggunakan mobil dari lokasi hotel jamaah haji Indonesia menuju Tan’im. Dibandingkan dengan lokasi miqat yang lain seperti Ji’ranah dan Hudaibiyah, Tan’im menjadi yang paling dekat.
Dalam hadits disebutkan ketika menjalankan haji Wada’ yang dilakukan oleh Rasulullah saat itu, istri Nabi Muhammad, Aisyah dalam kondisi menstruasi. Ia diperbolehkan menjalani seluruh rangkaian ibadah, kecuali thawaf. Setelah bersih dari haid, Nabi Muhammad meminta Abdurrahman, saudara Aisyah menghantarkannya ke desa Tan’im guna mengambil miqat di daerah tersebut. Peristiwa yang berlangsung pada tahun 9 Hijriyah ini menjadi dasar Tan’im sebagai tempat miqat. Inilah yang menjadi alasan mengapa masjid di situ disebut sebagai Masjid Aisyah.
Lokasi Tan’im merupakan perlintasan lalu lintas dari Makkah ke Madinah dengan jalur yang ramai. Kompleks Masjid Aisyah telah tertata dengan rapi sehingga memudahkan jamaah beraktivitas. Terdapat lokasi parkir yang luas, toilet untuk mandi dan berganti baju ihram, hingga masjid yang nyaman untuk shalat. Pepohonan di sekitar masjid juga menjadi kesejukan di tengah kegersangan.
Tan’im terus diperbaiki dari masa ke masa, dari pemerintahan ke pemerintahan. Renovasi terakhir dilakukan oleh Raja Fahd bin Abdul Aziz yang menghabiskan dana 100 juta riyal. Luas keseluruhan sekitar 84 ribu meter persegi dengan luas bangunan 6.000 meter persegi. Masjid ini buka selama 24 jam, yang memungkinkan siapa pun untuk mengambil miqat sewaktu-waktu.
Sebagai tempat miqat, otomatis, lokasi ini menjadi tempat strategis bagi taksi untuk mencari penumpang yang menuju Masjidil Haram. “Khamsa riyal-khamsa riyal (5 riyal-lima riyal),” begitu biasanya para supir-supir menawarkan jasanya.
Aturan menumpang taksi di Makkah berbeda dengan yang berlaku di Indonesia. Di sini, tarif dikenakan per penumpang. Dalam satu kali perjalanan menuju Masjidil Haram, sopir taksi dapat membawa 3 atau 4 penumpang, yang masing-masing tidak kenal, dan semuanya membayar sendiri. Di Makkah, naik taksi juga masih didasarkan pada sistem tawar-menawar, tidak berdasarkan argo.
Sejumlah pedagang asongan juga menggelar dagangan seperti sabun mandi, ikat pinggang, sandal, dan kebutuhan harian jamaah. Mereka mengambil tempat di dekat lahan parkir yang menjadi lalu-lalang jamaah dari dan menuju kendaraannya atau dekat toilet yang menjadi lokasi untuk berganti baju ihram.
Ruangan dalam masjid cukup luas dengan permadani tebal berwarna merah yang sangat halus sehingga nyaman untuk sujud. Hembusan penyejuk udara dengan suhu yang pas membuat jamaah dapat menjalankan shalat dengan khusyu. Dari luar, masjid tersebut terlihat dibangun dua tingkat, namun ketika masuk ke dalam, hanya ada satu lantai dengan langit-langit yang tinggi serta disinari dengan pencahayaan yang terang. Terdapat dua menara yang semakin menambah keindahan bangunan.
Di pelataran masjid yang struktur bangunannya masih menyatu, jamaah dapat menunggu rombongannya yang masih shalat. Lantai marmer berwarna putih yang selalu dibersihkan dan atap yang terbuat dari struktur bangunan yang kokoh menjadi tempat berlindung dari teriknya panas matahari. Pelataran tersebut berada dalam lokasi yang terbuka di mana udara dapat keluar dan masuk dari berbagai arah.
mereka menggunakan taksi dengan ongkos 10 riyal (38 ribuan) per jamaah menuju Tan’im dan kemudian berlanjut menuju Masjidil Haram.
“Supir taksinya menunggu kita. Mereka baru kita bayar setelah sampai di Masjidil Haram,” paparnya.
Komentar
Posting Komentar