Oleh Nur Hidayatullah
TADI malam 6 Juli 2024, untuk menyambut 1 Muharram 1446 H, masyarakat Indonesia ramai mengadakan tirakatan, terutama di sejumlah daerah di Pulau Jawa. Mereka memanjatkan doa agar segala kehkhilafan dan dosa pada tahun lalu diampuni Allah dan diterima segala amal ibadah, serta memohon perlindungan kepada Allah SWT dari tipu daya syaitan, sehingga hari esok lebih baik dari hari kemarin. Acara ditutup dengan makan-makan, motong tumpeng, bahkan ada yang minum susu dan menulis basmalah dengan jumlah tertentu. Sejak sebelum magrib mereka berkumpul membaca doa akhir tahun, dan setelah magrib membaca doa awal tahun.
Di tengah-tengah acara tirakatan, atau ada juga yang mendapat kabar setelah acara, bahwa hilal tidak terlihat, sehingga harus istikmal dan 1 Muharram 1446 H jatuh pada Senin 8 Juli 2024. Kenyataan ini menimbulkan sejumlah pertanyaan, apakah acara yang telah dilakukan malam ini sia-sia? Apakah harus mengulang besok lagi? Apakah harus minum susu sebagai tafa’alun meraih kebaikan diulang lagi dan seterusnya.
Sejatinya, tirakatan 1 Muharram merupakan tradisi baik yang telah lama berjalan di Indonesia. Mengadakannya bukanlah suatu kewajiban. Tapi mengisinya dengan doa tentu hal yang positif. Sehingga yang sudah melakukan doa dan minum susu, Alhamdulillah itu bagus. Setidaknya mengisi waktunya dengan bermunajat dan silaturahmi antar warga. Dan itu bernilai pahala disisi Allah. Terkait waktu pelaksanaannya, itu sudah benar menurut hisab. Kalau besok mau doa lagi, juga boleh, malah bagus, dan dapat pahala. Karena besok juga benar berdasarkan istikmal. Dalam kasus ini tidak ada yang salah. Lagi pula di dalamnya tidak ada puasa wajib dan hari raya yang gregetnya tampak di masyarakat, sehingga biasa saja. Perbedaan 1 Muharram adalah hal biasa, sebab 1 Muharram 1 H pun juga terjadi perbedaan pendapat, ada yang mengatakan 15 Juli 622 M berdasarkan hisab istilahi, dan ada yang 16 Juli 622 berdasarkan hisab hilali atau rukyah.
Menurut data hisab, tinggi hilal di Indonesia berkisar antara 5 derajat 33 menit (Aceh) s.d. 3 derajat 57 menit (Papua Barat Daya). Tinggi hilal telah memenuhi kriteria imkanurrukyah MABIMS yang baru, 3 derajat, juga telah melewati batas minimum elongasi, 6,4 derajat. Sehingga bagi yang meyakini 1 Muharram 1446 H jatuh pada Ahad 7 Juli 2024 M adalah benar berdasarkan hisab dengan kriteria imkanurrukyah; menurut qaul yang mu’tamad dalam Mazhab Syafi’i, boleh (tidak wajib) bagi seorang ahli hisab untuk mengamalkan hisabnya jika dimungkinkan hilal bisa dirukyah. Kebolehan itu juga berlaku bagi orang yang mempercayai ahli hisab tersebut. Dan yang berkeyakinan jatuh pada Senin 8 Juli pun juga benar berdasarkan istikmal atau menggenapkan bulan Dzulhijjah 30 hari karena hilal tidak terlihat.
Syekh Muhammad Yasin al-Fadani, ulama besar Nusantara yang telah menelaah ratusan kitab falak, menyebutkan dalam kitabnya al-Azhar al-Khamilah Syarah Tsamaratil Wasilah:
اعلم أن حكم الشرع على جميع الناس منوط بالرؤية بعد الغروب فيكون الشهر هلاليا و هو مدة ما بين هلالين و لا يكون الشهر الجديد إلا إذا رئي الهلال في أول ليلته و إن وقع الاجتماع بعد الغروب. و أما باعتبار الشخص نفسه فالعبرة بمولد الشهر الحقيقي سواء أمكنت الرؤية أم لا لقول الرماني و الحاسب من يعرف منازل القمر و تقدير سيره فيها, فهذا يشمل إمكان الرؤية و عدمه. فأول الشهر عند الحاسب من الاجتماع و حيث وقع قبل الغروب فالشهر موجود في اعتقاده.
“Ketahuilah, bahwa hukum syariat bagi semua orang tergantung pada rukyah setelah matahari terbenam, maka bulan yang dikehendaki adalah hilali, yaitu rentang waktu antara dua bulan sabit. Dan tidak dinamakan bulan baru kecuali bulan sabit terlihat pada malam pertamanya, meskipun ijtima terjadi setelah matahari terbenam. Adapun bagi individu itu sendiri, yang penting adalah kelahiran bulan yang sesungguhnya, apakah itu hilalnya terlihat atau tidak, sesuai perkataan Al-Rummani, seorang ahli hisab adalah yang mengetahui fase-fase bulan dan memperkirakan pergerakannya. Ini mencakup apakah hilal dimungkinkan terlihat atau tidak. Menurut orang yang ahli hisab, awal bulan terhitung sejak terjadinya ijtima, yang terjadi sebelum matahari terbenam, bagi mereka bulan telah ada (bulan astronomis)”.
Lebih lanjut Syekh Yasin, demikian juga Syekh Zubair Umar al-Jailani, menukil Hasyiyah Ibnu Qosim ala Tuhfatil Muhtaj, bahwa Syihabuddin Ahmad ar-Ramli ditanya seputar kebolehan menggunakan hasil hisab dalam berpuasa, apakah boleh digunakan manakala hilal memang terbukti pasti dan dapat terlihat atau mutlaq tanpa syarat? Maka Imam Ramli menjawab bahwa hasil perhitungan si hasib tersebut mencakup tiga keadaan, yaitu: 1) dinyatakan hilal di atas ufuk meski tidak terlihat, 2) dinyatakan hilal di atas ufuk dan pasti terlihat, dan 3) dinyatakan di atas ufuk dan kemungkinan terlihat.
Hal ini tidak serta merta boleh mengamalkan hisab secara mutlak, menurut Syekh Yasin, sebab maksud hadis shumu li ru’yatihi wa afthiru li ru’yatihi (berpuasalah karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya) itu ditaqdirkan mudhafnya, yaitu li imkan ru’yatihi (karena kemungkinan hilal bisa terlihat).
Menurut satu riwayat, KH Turaichan Kudus Al-Falaki pernah berujar, untuk persoalan kalender hijriah, tidak mengapa kita mengikuti hisab selama tidak berkaitan dengan dua hari raya; adapun yang berkaitan dengan keduanya (maksudnya puasa dan hari raya), maka yang mu'tamad adalah menggunakan rukyah. Perkataan Mbah Tur ini terkesan bertabrakan dengan ungkapan Syekh Yasin. Namun jika dicermati, teks yang dikomentari Syekh Yasin atas pertanyaan yang diajukan kepada Imam Ramli itu terfokus pada konteks puasa yang merupakan kewajiban umat Islam, bukan secara keseluruhan awal bulan kamariah. Sehingga bisa dikompromikan.
Sehingga, 1 Muharram 1446 H jatuh pada Ahad 7 Juli 2024 atau 8 Juli 2024 adalah sama-sama benar berdasarkan ijtihad masing-masing kelompok. Ijtihad jika benar mendapat dua pahala, dan bilamana salah mendapat satu pahala. Maka tidak ada salahnya jika besok kita baca doa akhir dan awal tahun lagi, karena menghimpun dua pendapat, sekaligus keluar dari perbedaan al-khuruj minal khilaf mustahab.
Semarang, 7 Juli 2024
Nur Hidayatullah
Komentar
Posting Komentar