Kyai Sholihin, Santri Mbah Hasyim Asy'ari

Kyai Sholihin, Santri Mbah Hasyim Asy'ari yang Membunuh Jenderal Mallaby dengan Dua Jari.

Kyai Solihin bin Kyai Muhammad Amin (Madamin) adalah salah satu ulama Pejuang yang lahir sekitar tahun 1912 di Cirebon Jawa Barat, dari keluarga Pesantren Babakan Ciwaringin yang sederhana namun tegas dalam hal agama. Kyai Sholihin adalah Santri Hadrotussyaikh KH. Hasyim Asy’ari Tebu Ireng, beliaulah satu - satunya Santri yang mendampingi Hadrotusyaikh ketika dipenjara oleh Tentara Jepang.

Ketika Hadrotussyaikh dijemput paksa oleh tentara Jepang dan dibawa dengan mobil truk yang melaju dengan kencang, para santri yang berusaha menghentikannya dihalangi oleh barisan tentara Jepang, namun sekonyong - konyong Kyai Sholihin melepaskan diri dari penjagaan para tentara Jepang tersebut, dan berlari mengejar mobil yang sedang melaju kencang itu dan berhasil melompat ke dalam truk yang membawa Hadrotussyaikh.

Hingga sesampainya truk tersebut di markas Jepang, Hadrotussyaikh langsung dibawa ke penjara, Kyai Solihin meminta menemani Hadrotussyaikh ikut dipenjara namun oleh Komandan Jepang tidak diperbolehkan masuk sambil didorong, maka dengan lantang Kyai Solihin berkata : ”Saya Sholihin dari Cirebon”, sambil menunjuk Komandan tersebut, sampai para Komandan Jepang dan serdadu Jepang lainnya tertegun. Mengetahui hal itu, Hadrotus syaikh langsung berujar “Ra popo (nggak apa - apa)“, maka Komandan Markas tersebut kemudian mengizinkan beliau ikut dipenjara satu sel bersama Hadrotussyaikh Hasyim Asy'ari.

Selama 4 bulan Kang Sholihin (sapaan akrab diantara para santri Tebuireng), setia mendampingi Hadrotus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dipenjara, beliau dengan penuh ta’dzim melayani segala kebutuhan Gurunya dengan sigap, seperti waktu Hadrotussyaikh dipenjara ditempatkan diruangan yang berdekatan dengan teras sehingga ketika hujan air masuk, Kyai Solihin mengelap ruang penjara tersebut, sampai mengusap - usap telapak kaki Hadrotussyaikh dengan bajunya sehingga, Hadrotussyaikh merasa tenang. Maka tidak heran ketika Kyai Sholihin meninggal dalam pembacaan Talqinnya, Kyai Ali Masina menyematkan Syahadah : “Hadza Sohibus sijni Mbah Hasyim Asy’ari”.

Pada masa penjajahan Jepang itu, Kyai Sholihin di berikan amanat oleh Hadrotussyaikh KH. Hasyim Asy’ari sebagai Lurah di Pesantren Tebu Ireng. Beliau menjalankan amanat tersebut dengan mengatur dan melaporkan segala rutinitas Pesantren pada Hadrotussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, walaupun ketika itu teror dan ancaman sering menerpa Pesantren, Kang Sholihin tak gentar menghadapinya. Disamping menjalankan amanat sang Guru, beliau juga telah dibekali berbagai ilmu lahir batin dari orang tuanya Kyai Madamin yang notabene seorang Ulama yang besar dari Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.

Suatu ketika ada kejadian di Pesantren TebuIreng, yaitu salah satu santri Hadrotussyaikh KH. Hasyim Asy'ari yang bernama Mas Dawam ditembak oleh tentara Jepang dan jasadnya digantung di sebuah tempat yang terbuka, yaitu di Alun - alun, yang mana dimaksudkan sebagai bentuk intimidasi pada warga pribumi dan santri untuk tidak melawan, karena siapapun yang akan melawan akan bernasib sama seperti itu, sehingga jasad Syuhada Mas Dawam tidak ada yang berani mengambil.

Dengan perasaan duka yang mendalam serta penuh keprihatinan, Hadrotussyaikh KH. Hasyim Asy’ari memerintahkan Kang Solihin untuk mengambil jasad Mas Dawam yang di gantung tentara Jepang tersebut. Maka dengan tekad yang kuat beliau menyatakan Siap !. Hingga kemudian Hadrotussyaikh membekali Kang Sholihin dengan sepucuk pistol milik Gus Kholiq, salah satu putra beliau.

Dengan berbekal perintah guru dan semangat perjuangan walau dalam keadaan hujan, Kang Sholihin melangkah untuk mengambil jasad Syuhada tersebut. Dan sebelum mengambil jasad tersebut, beliau masuk ke sebuah Mushola untuk melaksanakan Sholat sunnah 2 roka'at, dengan dilanjutkan membaca wiridan yang telah diterima dari orang tuanya, berupa Hizib Nashor, Hizib Nawawi, Hizib Bahri ditutup dengan Aji Penakluk - berbahasa Cirebon.

Hingga senja hampir Maghrib, saat beliau keluar dari Mushola tersebut sambil membawa beberapa jama'ah untuk ikut dalam misi penyelamatan tersebut. Sesampainya didekat lokasi yang dituju, beliau berdiri dan mengangkat pistol dan menembakkan peluru keatas, dengan izin Allah SWT, suara letusan pistol itu terdengar oleh tentara Jepang bagaikan dentuman meriam, hingga membuat tentara Jepang kaget dan bingung hingga lari tunggang langgang hingga menanggalkan senjata yang di pegangnya, saat itulah Kang Solihin bergegas mengambil Jasad Mas Dawam, sementara teman - teman yang lain mengambil senjata yang di tinggalkan tentara Jepang tadi. Jenazah Mas Dawam lantas beliau bawa kembali ke Pondok Pesantren Tebuireng untuk dimandikan, dikafani, disholatkan dan dikuburkan.

Dengan keberanian dan kemampuan Kyai Sholihin, Hadrotussyaikh sering mempercayakan Kang Sholihin untuk mendampingi setiap aktivitas perjuangannya, dikarenakan Putra Cirebon yang dikenal banyak memiliki tokoh yang mumpuni dalam bidang kejadukan yang masih ada dan dianggap mampu dalam hal itu adalah beliau. Dimana Kyai Abbas Buntet dan Kyai Amin Babakan saat itu sudah berada di pesantrennya masing - masing.

Kecintaan dan ketaatan Kyai Sholihin terus berlangsung hingga Hadrotussyaikh meninggal, beliaulah salah seorang yang jadi saksi kepergian Hadrotussyaikh menuju Sang Pemilik Hidup dengan tenang. 

Kiai Solihin tak sekadar pembantu, melainkan “tangan kanan” Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari. Beliau dikenal tegas, pemberani, dan ditakuti santri - santri.

Beliaulah, menurut cerita tutur banyak orang, yang membunuh Jenderal Mallaby, sang pemimpin tentara Inggris di Surabaya, dengan kedua jarinya tepat di tenggorokan Sang Jendral.

Kiai Solihin dikenal dekat dengan keluarga Hadratu Syaikh dan saudara - saudara beliau juga banyak yang mondok di situ, seperti adiknya sendiri, Kiai Bulkin Fanani, dan kakak iparnya, Kiai Masduki Ali. Juga masih bersaudara dengan Kiai Idris Kamali, menantu Hadratus Syaikh.

Hubungan kekeluargaan tersebut masih terjalin sampai Kiai Solihin pulang ke kampung halamannya di Pondok Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon. Gus Kholik, Gus Ya’kub, juga Gus Yusuf sering silaturahmi dan bertandang ke rumahnya. Bahkan, menurut sebuah cerita, Gus Ya’kub sering sekali ke rumah Kiai Solihin untuk meminta Jimat.

Kiai Solihin merupakan putra tertua Kiai Muhammad Amin (Ki Madamin). Beliau wafat tanggal 17 Agustus 1968 dan dimakamkan di kompleks pemakaman Kiai Abdul Hannan di Babakan Ciwaringin Cirebon. Pada saat dimakamkan tak sedikit keluarga Hadratu Syaikh yang hadir dan ikut mendoakan langsung.

Kiai Ali, adik Kiai Idris Kamali menantu Hadratu Syaikh, menyebut “Hadza sohibussijni Hasyim Asyari” pada saat menalqin beliau menuju peristirahatan terakhirnya.

Keterangan: 
Diolah dari santrinews.com, dari wawancara dengan Ny. Syamsyiyyah [putri Kiai Solihin], Kiai Makhtum dan Kiai Tamam Kamali [keponakan Kiai Solihin] oleh Jamaluddin Mohammad.

Komentar