Fasal dua: Terjemah Kitab Ta’limul Muta’alim Thariqatta’allum

 

Fasal 02

Niat Di Waktu Belajar

1. Niat Belajar


Wajib berniat waktu belajar. Sebab niat itu menjadi pokok dari segala hal, sebagaimana sabda nabi saw : Sesungguhnya amal-amal perbuatan itu terserah niatnya” Hadits shahih.


Dari beliau pula diriwayatkan sebuah hadits : ”Banyak amal perbuatan yang berbentuk amal dunia, lalu menjadi amal akhirat yang karena bururk niatnya maka menjadi amal dunia.”


  2. Niatan Baik dan Buruk


Di waktu belajar hendaklah berniat mencari Ridha Allah swt. Kebahagian akhirat, memerangi kebodohan sendiri dan segenap kaum bodoh, mengembangkan agama dan melanggengkan islam sebab kelanggengan islam itu harus diwujudkan dengan ilmu. Zuhud dan taqwapun tidak sah jika tanpa berdasar ilmu.


Syaikhul imam Ajall Burhanuddin Shahibul Hidayah menyanyikan syair gubahan sebagian ulama :


• Hancur lebur, orang alim tak teratur. Lebih lebur, bila si jahil ibadah ngawur.
• Keduanya menjadi fitnah,menimpa ganas di dunia. Atas yang mengikutinya, sebagai dasar peri agama.


Dengan belajar pula, hendaklah diniati untuk mensyukuri kenikmatan akal dan badan yang sehat. Belajar jangan diniatkan untuk mencari pengaruh, kenikmatan dunia ataupun kehormatan di depan sultan dan penguasai-penguasa lain.


Muhammad Ibnul Hasan berucap: ‘andaikan seluruh manusia itu manjadi budak belianku, niscaya kumerdekakan seluruhnya dan bebaskan dari kekuasaanku.”


• Kelezatan dan Hikmah Ilmu.


Siapa saja telah merasakan kelezatan rasa ilmu dan amal, maka semakin kecillah kegemarannya akan harta benda dunia. Syaikhul Imamil Ajall Ustadz Qawamuddin Hammad bin Ibrahim bin ismail Ash-Shoffar Al-Anshoriy membacakan kami syair imla’ abu hanifah :


• Siapa saja gerangan, menuntut ilmu untuk hari kemudian untuklah dapat keutamaan, anugrah Allah penunjuk jalan
• Aduh, saja merugi, penuntut ilmu nan suci Hanya buat sesuap nasi, dari hamba ilahi.


Tetapi jikalau dalam meraih keagungan itu demi amar ma’ruf nahi munkar, memperjuangkan kebenaran dan meluhurkan agama bukan untuk keperluan hawa nafsu sendiri makadiperbolehkan sejauh batas telah dapat menegakkan amar ma’ruf nahi munkar tersebut.


Penuntut ilmu hendaknya memperhatikan apa yang tersebut diatas. Ia telah mengatasi kepayahan yang cukup banyak, maka jangan sampai ilmu yang telah ia peroleh itu digunakan sarana bendahara duniawi yang hina, sedikit nilainya dan segera hancur ini. Syair menyebutkan :


• Dunia itu sedikit, dan paling sedikit Pecintanyapun hina, nan hina dina
• Sihir dunia, membuat tuli dan buta Kebingungan, tak tahu ke mana jalan
• Pantangan Ahli ilmu.


Orang berilmu itu hendaklah jangan membuat dirinya sendiri menjadi hina lantaran tamak terhadap sesuatu yang tidak semestinya, jangan sampai terjerumus ke dalam lembah kehinaan ilmu dan ahli ilmu. Ia supaya berbuat tawadu’ (sikap tengah-tengah antara sombong dan kecil hati), berbuat iffah, yang keterangan lebih jauhya bisa kita dapati dalam kitab akhlaq.


Syaikhul imamil ajall ustadz ruknul islam yang terkenal sebagai sasterawan ternama mengemukakan gubahan syi’irnya:


• Tata kerama, benar-benar budi orang taqwa Ia menanjak tinggi, dengan sikap
• Ajaib, ajaiblah orang tidak tahu dirinya sendiri Bahagiakah nanti, apa malah celaka diri ?
• Bagaimana waktu meninggalkan dunia, pungkasan umur nyawanya. Suul khatimah, apa husnul khatimah?
• Keagungan, itu khusus sifat ar-rahman Singkirlah, waspadalah!


Kepada sahanat-sahabatnya, abu Hanifah berkata : ”besarkanlah putaran serban kalian, dan perlebarlah lobang lengan baju kalian”. ucapan ini dikemukakan agar supaya ilmu dan ahli ilmu tidak terpandang remeh.


Saran Khusus Buat pelajar.


Sebaiknya pelajar bisa mendapatkan buku wasiat tulisan Abu Hanifah (yang tadinya) untuk Yusuf Bin Khalid As-Simty waktu pulang kembali ketengah-tengah keluarganya. Dan buku ini bisa didapatkan oleh yang mau mencarinya. Guru kita sendiri, yaitu Syaikhul Imam Burhanul Immah Aliy Abu Bakar semoga Allah mensucikan ruhnya yang mulya itu adalah juga memerintahkan kami waktu mau pulang ke daerah agar menulis buku tersebut, dan kamipun melakukannya. Sang guru dan mufti (pemberi fatwa) bidang pergaulan manusia, tidak boleh tidak juga memegangi buku wasiat tersebut.

 

Komentar